Sore hari itu Zia, gadis kecil yang selalu ceria, harus masuk rumah sakit karena terkena demam yang tinggi. Seketika senyum itu berubah kala dia harus meninggalkan teman-temannya demi penyembuhan sakitnya di sebuah rumah sakit Kasih Bunda. “Mengapa aku harus dirawat di rumah sakit, Mom? celoteh Zia”. Aku tidak mau melewatkan hari-hari bersama teman-temanku sebelum kita pindah rumah. Sang Bunda hanya terdiam tanpa mengucap sepatah katapun. Zia semakin bingung dan hanya menatap wajah bunda dan ayahnya.
Setibanya di rumah sakit Zia masuk dalam Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan langsung mendapat penanganan khusus dari dokter. Setelah melakukan beberapa tes lab dan diagnose dokter menyatakan kalau dia terkena demam berdarah. Gadis ceria itu akan dipindahkan di ruang VIP. Bunda dan Ayahnya masih ngobrol dengan sang dokter, sementara Zia mendekati jendela menatap jauh keluar. Di tengah rintik hujan muncul sebuah pedicab yang menuju ke arah rumah sakit dengan pelan. Si pengayuh kehujanan dan penumpang yang ada didalamnya adalah seorang kakek yang tua renta. Pak Kardi, pengayuh, yang tak kuasa mengangkat sang kakek akhirnya mendapat bantuan dari petugas rumah sakit. Zia dengan kaget menatap tajam wajah sang kakek tersebut. Dalam benaknya bertanya sepertinya pernah melihat sosok yang tidak asing lagi. Angan-angannya terus melayang mengingat wajah orang tua tersebut. Sang dokter buru-buru menyiapkan peralatan untuk segera memeriksa keadaan kakek tua itu. Dan Zia pun dipindahkan ke kamar VIP. Rasa penasarannya masih menyelimuti benaknya. Dia merasa dekat sekali dengan kakek tersebut meskipun belum kenal. Sementara itu dokter sibuk memeriksa pasien yang sudah lanjut usia tersebut cukup lama di ruang IGD. Tak lama kemudian hasil lab dan diagnose dokter keluar bahwa sang kakek menderita serangan jantung yang sampai beberapa jam berlalu belum sadarkan diri. Tak ada sanak saudara yang menunggunya kecuali pak Kardi sang pengayuh pedicab, beliau dengan sabar menunggu kakek tua itu di rumah sakit meskipun tidak ada ikatan darah sama sekali. Rasa social yang tinggi itulah yang membuatnya harus berada di sisi sang kakek tersebut. Padahal di luar sana beliau pun juga memilki kewajiban penting untuk mencari nafkah demi keluarganya. Kemudian Pak Kardi masuk ke dalam ruagan dokter dan berbicara serius.
Usut punya usut ternyata kakek tua itu adalah pasien tetap di rumah sakit Kasih Bunda. Setiap minggunya sang kakek harus kontrol ke dokter. Dan sudah 3 minggu ini kakek mengabaikannya. Pihak rumah sakitpun tak khawatir untuk menarik biaya pengobatan sang kakek. Selain dapat bantuan dari pemerintah, rumah sakit tersebut juga memiliki donatur tetap yang tak lain adalah ayah Zia. Beliau orang dermawan yang suka membantu orang-orang yang sangat membutuhkan terutama pasien sakit yang kurang mampu. Di kamar VIP, Setelah Zia terbangun dari tidurnya, dia, bunda dan ayahnya sedang asyik ngobrol. “ Mom, hujan gerimis ini mengingatkanku saat pulang sekolah bulan Desember yang lalu, “kata Zia. Waktu itu Daddy tidak bisa menjemputku dan teman-temanku sudah pulang. Aku berjalan sendiri dan berteduh di bawah pohon dekat rumah kecil di seberang jalan dekat sekolahku. Kala itu aku kedinginan dan tak lama kemudian seorang kakek datang menghampiriku. Awalnya aku sangat takut dan dia menyuruhku ikut ke rumahnya yang reyot yang ada di balik pepohonan tersebut. Beliau menyuruhku duduk dan tak lama dia menyediakan hidangan alakadarnya yaitu secangkir wedang jahe dan sepiring ubi rebus yang masih hangat. Beliau menatap dan menyuruhku menghabiskan hidangan tersebut. Sambil menikmatinya, kita ngobrol dan semakin akrab. Beliau menceritakan kisah keluarganya. Gerimis pun reda dan aku pulang. Sampai detik ini aku pun tidak pernah melihat sang kakek lagi semenjak rumahnya roboh. “Aku merindukan kakek tersebut, Mom. “ celetuk zia.
Tiba-tiba dia sontak teringat sosok kakek yang tadi pagi dia temui saat berada di ruang IGD. Sambil menggenggam infus dia beranjak dari tempat tidur dan berkata, “ Dad, Mom, antarkan aku ke ruang IGD sekarang juga. Aku ingin bertemu dengan kakek tersebut.” Orang tuanya kaget melihat tingkah anaknya. “ Siapa yang akan kamu cari disana?” kata sang Ayah. Zia mengatakan bahwa dia merasa kalau kakek yang ada di rumah sakit yang dia temui tadi pagi itu adalah kakek yang selama ini dia rindukan yaitu kakek yang pernah menolongnya waktu itu. Duduk diatas kursi roda Zia diantar ke ruang IGD. Ayahnya meminta ijin agar anaknya bisa masuk menjenguk kakek tersebut. Kondisi kakek tersebut cukup kritis karena belum sadarkan diri. Dengan bujuk rayu sang bunda akhirnya Zia bisa masuk. Di dalam ruang tersebut suasana sangat hening. Zia berusaha mengajak sang kakek berbicara. Dia membisikkan ke telinga kakek tersebut dan berkata, “ Kakek, masih ingatkah tentang aku? Aku, Zia yang dulu pernah kakek tolong saat berteduh di bawah pohon. Kek, cepatlah bangun. Aku ingin ngobrol banyak denganmu kek. Aku sangat merindukanmu. Setiap pulang sekolah aku selalu berharap akan bertemu denganmu lagi.” Sambil mengusap wajah keriput sang kakek tanpa sadar airmata Zia jatuh menetes ke pipi kakek tersebut. Satu jam berlalu, dan orang tua Zia akhirnya mengajaknya keluar kembali ke kamarnya. Zia sangat kecewa karena kakek tidak menunjukkan reaksi apapun.
Selangkah zia dan orang tuanya meninggalkan ruangan tersebut, meneteslah air mata sang kakek. Malam hari saat Zia tertidur pulas di kamarnya, seorang suster datang memeriksa keadaan Zia. Tiba-tiba suara langkah kaki yang berlari terdengar semakin dekat menuju kamarnya. Seorang suster rumah sakit yang lain dengan terburu-buru meminta ijin kepada orang tua Zia agar gadis kecil itu segera dibangunkan. Ternyata kakek yang dikunjungi oleh Zia sore hari itu sudah sadarkan diri. Zia Bangun dengan wajah gembira setelah diberi tahu bahwa sang kakek sudah melewati masa kritisnya. Dia semangat dan berlari menuju ruang IGD tanpa dia sadari bahwa kondisinya pun juga belum membaik. Dia lupa akan sakitnya.
Setibanya di depan pintu kamar, “ Kakek!!!” teriaknya. Sambil memeluk dan keduanya meneteskan airmata. “ Aku sangat menyayangimu kek. “ seru Zia. Sang kakek tersenyum dan berusaha berbicara pada Zia. Dengan terbata-bata kakek pun berkata, “ A..aku ju..ga sa..yang..padamu, nak.” 5 menit berlalu sang kakek tiba-tiba sesak napas dan Zia berusaha memanggilnya, “ kakek..kakek..kakek?” Sang kakek menghembuskan napas terakhir saat Zia berusaha memeluknya erat. Dokter pun tidak bisa berbuat apa-apa karena berbagai cara sudah dilakukan dan inilah takdir dari Sang Pencipta.
Sementara itu Zia tidak mau melepaskan pelukannya terhadap kakek tersebut sambil menangis. Orang tuanya berusaha melepaskannya dan sampai akhirnya dia digendong keluar oleh Ayahnya. Orang tua Zia dan Pak Kardi mengurus administrasi kakek tersebut. Awan gelap dan mendung menambah suasana haru kala itu.
Keesokan harinya, kakek tersebut dimakamkan di tempat pemakaman umum. Semua keluarga turut berduka cita dan mengikuti proses pemakaman tersebut. Pak Kardi, Ayah, dan keluarga Zia dengan ikhlas mengurus pemakaman tersebut. Sementara Bunda masih berada di rumah sakit menemani Zia karena kondisinya yang belum pulih. Dengan sesenggukan Zia masih menangisi kepergian sang kakek. Bundanya terus menghibur dan memberi pengertian kepada Zia. Siang hari, Ayah dan saudara-saudara Zia pun datang ke rumah sakit. Teman-temannya pun datang silih berganti menjenguknya. Beberapa hari kemudian Zia pun pulang dari rumah sakit. Satu hari kemudian Zia sekeluarga pindah rumah ke Bandung dengan membawa kenangan bersama kakek.
Setibanya di rumah sakit Zia masuk dalam Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan langsung mendapat penanganan khusus dari dokter. Setelah melakukan beberapa tes lab dan diagnose dokter menyatakan kalau dia terkena demam berdarah. Gadis ceria itu akan dipindahkan di ruang VIP. Bunda dan Ayahnya masih ngobrol dengan sang dokter, sementara Zia mendekati jendela menatap jauh keluar. Di tengah rintik hujan muncul sebuah pedicab yang menuju ke arah rumah sakit dengan pelan. Si pengayuh kehujanan dan penumpang yang ada didalamnya adalah seorang kakek yang tua renta. Pak Kardi, pengayuh, yang tak kuasa mengangkat sang kakek akhirnya mendapat bantuan dari petugas rumah sakit. Zia dengan kaget menatap tajam wajah sang kakek tersebut. Dalam benaknya bertanya sepertinya pernah melihat sosok yang tidak asing lagi. Angan-angannya terus melayang mengingat wajah orang tua tersebut. Sang dokter buru-buru menyiapkan peralatan untuk segera memeriksa keadaan kakek tua itu. Dan Zia pun dipindahkan ke kamar VIP. Rasa penasarannya masih menyelimuti benaknya. Dia merasa dekat sekali dengan kakek tersebut meskipun belum kenal. Sementara itu dokter sibuk memeriksa pasien yang sudah lanjut usia tersebut cukup lama di ruang IGD. Tak lama kemudian hasil lab dan diagnose dokter keluar bahwa sang kakek menderita serangan jantung yang sampai beberapa jam berlalu belum sadarkan diri. Tak ada sanak saudara yang menunggunya kecuali pak Kardi sang pengayuh pedicab, beliau dengan sabar menunggu kakek tua itu di rumah sakit meskipun tidak ada ikatan darah sama sekali. Rasa social yang tinggi itulah yang membuatnya harus berada di sisi sang kakek tersebut. Padahal di luar sana beliau pun juga memilki kewajiban penting untuk mencari nafkah demi keluarganya. Kemudian Pak Kardi masuk ke dalam ruagan dokter dan berbicara serius.
Usut punya usut ternyata kakek tua itu adalah pasien tetap di rumah sakit Kasih Bunda. Setiap minggunya sang kakek harus kontrol ke dokter. Dan sudah 3 minggu ini kakek mengabaikannya. Pihak rumah sakitpun tak khawatir untuk menarik biaya pengobatan sang kakek. Selain dapat bantuan dari pemerintah, rumah sakit tersebut juga memiliki donatur tetap yang tak lain adalah ayah Zia. Beliau orang dermawan yang suka membantu orang-orang yang sangat membutuhkan terutama pasien sakit yang kurang mampu. Di kamar VIP, Setelah Zia terbangun dari tidurnya, dia, bunda dan ayahnya sedang asyik ngobrol. “ Mom, hujan gerimis ini mengingatkanku saat pulang sekolah bulan Desember yang lalu, “kata Zia. Waktu itu Daddy tidak bisa menjemputku dan teman-temanku sudah pulang. Aku berjalan sendiri dan berteduh di bawah pohon dekat rumah kecil di seberang jalan dekat sekolahku. Kala itu aku kedinginan dan tak lama kemudian seorang kakek datang menghampiriku. Awalnya aku sangat takut dan dia menyuruhku ikut ke rumahnya yang reyot yang ada di balik pepohonan tersebut. Beliau menyuruhku duduk dan tak lama dia menyediakan hidangan alakadarnya yaitu secangkir wedang jahe dan sepiring ubi rebus yang masih hangat. Beliau menatap dan menyuruhku menghabiskan hidangan tersebut. Sambil menikmatinya, kita ngobrol dan semakin akrab. Beliau menceritakan kisah keluarganya. Gerimis pun reda dan aku pulang. Sampai detik ini aku pun tidak pernah melihat sang kakek lagi semenjak rumahnya roboh. “Aku merindukan kakek tersebut, Mom. “ celetuk zia.
Tiba-tiba dia sontak teringat sosok kakek yang tadi pagi dia temui saat berada di ruang IGD. Sambil menggenggam infus dia beranjak dari tempat tidur dan berkata, “ Dad, Mom, antarkan aku ke ruang IGD sekarang juga. Aku ingin bertemu dengan kakek tersebut.” Orang tuanya kaget melihat tingkah anaknya. “ Siapa yang akan kamu cari disana?” kata sang Ayah. Zia mengatakan bahwa dia merasa kalau kakek yang ada di rumah sakit yang dia temui tadi pagi itu adalah kakek yang selama ini dia rindukan yaitu kakek yang pernah menolongnya waktu itu. Duduk diatas kursi roda Zia diantar ke ruang IGD. Ayahnya meminta ijin agar anaknya bisa masuk menjenguk kakek tersebut. Kondisi kakek tersebut cukup kritis karena belum sadarkan diri. Dengan bujuk rayu sang bunda akhirnya Zia bisa masuk. Di dalam ruang tersebut suasana sangat hening. Zia berusaha mengajak sang kakek berbicara. Dia membisikkan ke telinga kakek tersebut dan berkata, “ Kakek, masih ingatkah tentang aku? Aku, Zia yang dulu pernah kakek tolong saat berteduh di bawah pohon. Kek, cepatlah bangun. Aku ingin ngobrol banyak denganmu kek. Aku sangat merindukanmu. Setiap pulang sekolah aku selalu berharap akan bertemu denganmu lagi.” Sambil mengusap wajah keriput sang kakek tanpa sadar airmata Zia jatuh menetes ke pipi kakek tersebut. Satu jam berlalu, dan orang tua Zia akhirnya mengajaknya keluar kembali ke kamarnya. Zia sangat kecewa karena kakek tidak menunjukkan reaksi apapun.
Selangkah zia dan orang tuanya meninggalkan ruangan tersebut, meneteslah air mata sang kakek. Malam hari saat Zia tertidur pulas di kamarnya, seorang suster datang memeriksa keadaan Zia. Tiba-tiba suara langkah kaki yang berlari terdengar semakin dekat menuju kamarnya. Seorang suster rumah sakit yang lain dengan terburu-buru meminta ijin kepada orang tua Zia agar gadis kecil itu segera dibangunkan. Ternyata kakek yang dikunjungi oleh Zia sore hari itu sudah sadarkan diri. Zia Bangun dengan wajah gembira setelah diberi tahu bahwa sang kakek sudah melewati masa kritisnya. Dia semangat dan berlari menuju ruang IGD tanpa dia sadari bahwa kondisinya pun juga belum membaik. Dia lupa akan sakitnya.
Setibanya di depan pintu kamar, “ Kakek!!!” teriaknya. Sambil memeluk dan keduanya meneteskan airmata. “ Aku sangat menyayangimu kek. “ seru Zia. Sang kakek tersenyum dan berusaha berbicara pada Zia. Dengan terbata-bata kakek pun berkata, “ A..aku ju..ga sa..yang..padamu, nak.” 5 menit berlalu sang kakek tiba-tiba sesak napas dan Zia berusaha memanggilnya, “ kakek..kakek..kakek?” Sang kakek menghembuskan napas terakhir saat Zia berusaha memeluknya erat. Dokter pun tidak bisa berbuat apa-apa karena berbagai cara sudah dilakukan dan inilah takdir dari Sang Pencipta.
Sementara itu Zia tidak mau melepaskan pelukannya terhadap kakek tersebut sambil menangis. Orang tuanya berusaha melepaskannya dan sampai akhirnya dia digendong keluar oleh Ayahnya. Orang tua Zia dan Pak Kardi mengurus administrasi kakek tersebut. Awan gelap dan mendung menambah suasana haru kala itu.
Keesokan harinya, kakek tersebut dimakamkan di tempat pemakaman umum. Semua keluarga turut berduka cita dan mengikuti proses pemakaman tersebut. Pak Kardi, Ayah, dan keluarga Zia dengan ikhlas mengurus pemakaman tersebut. Sementara Bunda masih berada di rumah sakit menemani Zia karena kondisinya yang belum pulih. Dengan sesenggukan Zia masih menangisi kepergian sang kakek. Bundanya terus menghibur dan memberi pengertian kepada Zia. Siang hari, Ayah dan saudara-saudara Zia pun datang ke rumah sakit. Teman-temannya pun datang silih berganti menjenguknya. Beberapa hari kemudian Zia pun pulang dari rumah sakit. Satu hari kemudian Zia sekeluarga pindah rumah ke Bandung dengan membawa kenangan bersama kakek.
No comments:
Post a Comment